OutlawOutlaw
  • COLLABORATION
    • MATERNAL DISASTER
  • SHOP
    • ADVISED
    • ALL BOARDS
    • APPAREL
      • T-SHIRTS
      • JACKETS
      • SWEATSHIRTS
    • BAGS
    • HEADWEAR
    • ACCESSORIES
      • SOCKS
  • TEAM
  • WHERE TO BUY
  • ADS
  • NEWS
  • CONTACT

MUNTAH : STAY CORE...STAY TRUE!

  • Essay, Muntah, News
  • October 4, 2025
muntah - template web pic copy

Skateboarding selalu punya wajah yang unik karena ia lahir dari jalanan, tumbuh lewat pertemanan, dan berkembang berdasarkan semangat berbagi energi. Dari nongkrong bareng di spot sampai patungan bikin obstacle, redefinisi skateboarding bisa juga direnungi bukan sebagai olahraga tapi sebuah sikap kebersamaan. Namun, seiring berkembangnya media sosial, sponsor, eksposur dari industri, atau justru hanyalah umur sebagai angka, muncul fenomena yang disebut star syndrome. Konteks star syndrome dalam skateboarding bisa muncul ketika seorang skater tiba-tiba mendapat sorotan yaitu videonya viral, atau ketika ia sering menang kompetisi, mulai dilirik brand-brand besar dan namanya selalu menjadi bahasan setiap orang.

Padahal, fundamental skateboard justru lahir dari kebersamaan. Banyak skater yang dihormati bukan hanya karena memang “jago” diatas papan, tapi juga karena sikapnya yang  tetap humble, selalu support teman-temannya, dan nggak pernah lupa bahwa skate itu tentang kesenangan, bukan sekadar status. Begitu star syndrome muncul, yang terjadi biasanya malah sebaliknya, yaitu pertemanan yang renggang, respect berkurang, bahkan bisa muncul hujatan dari publik kepadanya.

Skateboarding seharusnya bisa menjadi ruang kolektif dimana semua orang setara, entah itu yang bisa kickflip atau yang tidak, tetapi star syndrome mengubah dinamika itu. Begitu seorang skater mulai merasa dirinya lebih tinggi, lahirlah jarak yang tidak kasat mata. Rasa superior itu muncul lewat komentar yang merendahkan, sikap yang tidak lagi inklusif, dan orientasi yang hanya terpusat pada diri sendiri. Skateboarding yang mestinya terbuka untuk siapa saja tiba-tiba berubah menjadi arena eksklusif, seolah hanya mereka yang punya sponsor, views, atau gear mahal yang pantas disebut bagian dari kultur. Komunitas pun menjauh, bukan karena iri, melainkan karena energi yang tercipta sudah “kotor”. Star syndrome menjadikan skate bukan lagi soal kesenangan bersama, melainkan ajang pamer gengsi. Padahal, ruh skateboard sejak awal bukan tentang kompetisi sosial, melainkan kebebasan, kebersamaan, dan perayaan setiap kebersamaan di atas papan.

Popularitas memang menggoda, terlebih di era digital ketika likes, views, dan follower bisa datang secepat trik yang landing dengan bersih. Tapi kalau seorang skater hanya mengejar sorotan atau spotlight semacam itu, cepat atau lambat ia akan kehilangan inti dari skateboardingnya itu sendiri. Skate bukan cuma tentang jadi yang paling populer, tapi tentang tumbuh dan bersikap, proses, dan energi kolektif yang bikin scene tetap hidup. Star syndrome dalam skateboard seharusnya menjadi sesuatu yang ditinggalkan, popularitas bisa datang dan pergi, sponsor bisa berganti, tapi yang akan selalu melekat adalah respect dan sikap yang ditinggalkan. Seorang skater akan diingat bukan hanya karena trik yang berhasil ia lakukan, melainkan juga karena proses berkembang dalam kebersamaan, perspektif tersebut tidak muncul melalui sifat star syndrome.

Cara komunitas berinteraksi, yang tadinya semua saling dorong dan saling dukung, kini menjadi saling ukur siapa yang lebih populer, siapa yang lebih dekat dengan brand, siapa yang lebih sering disorot kamera, dan siapa yang lebih punya pertemanan yang “keren”. Relasi organik antar skater digantikan relasi transaksional. Dari sini lahir jurang antara mereka yang merasa “bintang” dengan mereka yang memilih tetap setara. Ketika seorang skater mulai merasa dirinya lebih tinggi dari yang lain, sikap itu menciptakan jarak, bukan jarak karena level kemampuan, melainkan jarak sosial, orang lain merasa tidak lagi disambut, merasa dibandingkan, bahkan merasa terpinggirkan. Skate yang mestinya jadi bahasa kebersamaan berubah jadi arena kompetisi ego.

Skateboard bukanlah olahraga glamour dengan tribun penonton megah. Ia lahir di trotoar, di gang sempit, dan di tepi kota. Namun, ketika skater mulai terjebak dalam ilusi “bintang”, mereka lebih sibuk mengejar sorotan ketimbang membangun kebersamaan, lebih sibuk menghitung likes ketimbang menghargai perjalanan, dan lebih senang memamerkan status ketimbang berbagi ruang dengan kawan-kawan.

Sekali lagi, skateboard bukan panggung untuk kompetisi ego, melainkan ruang untuk tumbuh bersama. Jika kita dapat meredefinisi ulang skateboarding tanpa star syndrome, skateboarding akan terus jadi sesuatu yang murni, yaitu tempat di mana semua orang, dari latar belakang apapun, bisa merasa setara saat berasa di atas papan seluncur. (Terrorezar)


Previous articleSLOWSHUTTER - BANGKAWARAH VIDEO SCREENING RECAPNext article MUNTAH : Fuck Off! We're not your marketing development.

Leave a Reply Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *


Categories

  • Art (7)
  • Collaboration (1)
  • Essay (3)
  • Event (8)
  • Gigs (4)
  • Interview (2)
  • Muntah (6)
  • Music (2)
  • News (27)
  • Others (10)
  • Review (1)
  • Skateshop (2)
  • Video (4)

Tags

625 Records Article Bangkawarah Bleachvision Boots Reaction Essay Fanzine Grimloc Records Guts GxUxTxS H0ekks Hardcore/Punk Heaven Skateboards Information Interview Lembong 82 Merdeka Store Muntah Music Outlaw Skateboards Possed Push and Roast Razor13 Review Screening Skateboarding Skatecore Skatepiracy Skateshop Slodom Slowshutter Tattoo temporal bandung Timtimebroy Trashcore Trip Unbaptised Zine Video Videographer
Copyright © 2023 Outlaw Skateboards. All Right Reserved

Tokopedia

Buy Now